Cerpen: 2 April
Cerpen semi-fiksi tentang makna 2 April bagiku.
“Dek, ayo dek, nanti telat lho ke sekolah”, ucap mama sambil membangunkanku. Aku lekas bersiap-siap untuk berangk- lebih tepatnya dipersiapkan oleh mama dan mbak untuk berangkat.
Pagi ini, aku makan sarapan favoritku, “bubur ayam nggak pakai kacang, cakwe-nya dibanyakin”. Aku benci kacang. Entah kenapa, tapi kacang membuatku mual dan juga memberi alergi kepada om-ku, jadi menurutku sah-sah saja kalau kacang ada di daftar-hitam makananku. Lagipula daftar-hitamku nggak panjang kok, ini tercermin dari ukuran badan- eh, perutku.
Setelah sarapan, aku bergegas bersama papa ke TK An-Nisa. Setibanya di depan sekolah, papa menghentikan mobil dan memberitahuku, “Nanti habis sekolah, kita ke rumah Ibu ya, hari ini kan 2 April…”. Aku mengangguk sambil tersenyum, dan segera masuk ke gerbang sekolah.
Perkataan papa membuatku senang tidak karuan. Hari in 2 April, ulang tahun Ibu! Berarti 4 hari lagi ulang tahunku!
Selama di sekolah, aku dikenal sebagai seorang pemalu dan pendiam. Aku biasanya lebih suka bermain dengan tetanggaku, Abi dan Bima. Menurutku berkenalan dengan orang baru itu susah. Tetapi hari ini aku tidak bisa menyimpan senyuman di raut wajahku. Pikiranku tidak bisa terlepas dari semua hal yang mungkin kita akan lakukan untuk ulang tahun Ibu. Apakah kita akan jalan-jalan ke puncak? Mungkin kita akan mampir ke pakde di Bandung? Atau mungkin…, kita sudah boleh menebang pohon pisang di kebun Ibu buat main wayang?? Ahh, wayang!
Setiap akhir pekan, aku selalu menginap di rumah Ibu. Aku lebih suka tinggal disini, karena aku boleh bangun telat buat nonton wayang. Aku nggak ngerti sih mereka bicara apa di pewayangan, cuman aku tetap senang melihat kelihaian sang dalang dalam menggerakan wayang-wayangnya.
Kalau aku ditanya siapa karakter wayang yang paling aku suka, jawabku adalah Gatotkaca, tapi sebenarnya… aku lebih suka Semar. Ibu selalu bilang dibalik kelucuannya bersama Bagong dan Petruk, dia adalah orang yang bijak. Kalau aku sih suka Semar karena dia gendut seperti aku dan Ibu.
Setelah sekian lamanya memikirkan wayang, sekolah pun selesai dan aku dijemput pulang mama.
Sambil menunggu papa pulang dari kantor, mama membujukku untuk latihan naik sepeda. Diantara teman-temanku, aku satu-satunya yang masih belum bisa naik sepeda roda dua. Bahkan, di umur 5 tahun, kakakku sudah bisa memakai sepeda roda dua juga.
Aku selama ini nggak mengerti, gimana mereka bisa menyeimbangkan sepeda. Terlebih lagi, kalau aku terjatuh, aku nggak suka pedihnya rasa Betadine pada lukaku. Namun, hari ini aku memberanikan diri. Aku harus bisa memakai sepeda roda dua.
Mama mengeluarkan sepeda kakakku yang lumayan tinggi. Kita sempat latihan dengan sepedaku yang lebih kecil, tapi aku selalu saja memijakkan kaki pada aspal. Jadi sekarang aku harus latihan dengan sepeda tinggi.
Sepedanya dipegang tegak sama mama agar aku bisa naik. Setelah semua sudah siap, kakiku mulai mendorong pedalinya pelan-pelan. Tidak terasa, setelah beberapa detik, aku dan mama sudah bergerak cepat dan mama mulai melepas sepedanya.
Awalnya, semua berjalan baik. Mungkin akhirnya.. aku akan bisa memakai sepeda roda dua. Namun beberapa detik kemudian, sepedanya pun memelan. Aku mulai merasakan, sepedanya mulai memiring. Aku pun berhenti menggerakan pedal dan mencoba menyeimbangkannya dengan memutarkan stang. Tiba-tiba aku merasakan benturan kencang. Badanku seketika melayang dari kursi sepeda…
Dan semuanya gelap.
Aku terbangun di kasur. Secepatnya aku mengecek tanggal di kalender, “2. April 2021”. Kira-kira bagaimana kabar Ibu?
Cerpen ini aku dedikasikan kepada mendiang nenekku, Woro Sri Sugriani (2.4.1945-15.11.2020). Happy birthday Ibu.